Oleh : Dwi Budiyanto
SEORANG LELAKI telah datang kepada Umar
bin Khathab r.a. Raut wajahnya memendam amarah. Ia berjalan dengan tergesa. Ia
datang untuk satu tujuan: mengadukan kedurhakaan anaknya. Anak lelaki itu
didakwa karena kedurhakaannya terhadap bapaknya dan kelalalaiannya terhadap
hak-hak orangtuanya.
Umar kemudian mendatangkan anak itu untuk
didengar kesaksiannya. Pengadilan pun digelar. Surat tuduhan dibacakan.
Kesaksian pun didengar.
Anak itu melempar sebuah pertanyaan
pembuka, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak juga mempunyai hak yang harus
diberikan bapaknya?”
“Tentu,” kata Umar.
Anak itu bertanya lagi, “Apakah itu wahai
Amirul Mukminin?” Umar menjawab, “Memilihkan ibu, memberikan nama yang baik,
dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadanya.”
“Wahai Amirul Mukminin,” anak itu
bermaksud memberikan pembelaan, “Sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan
satu pun di antara itu semua. Ibuku seorang bangsa Ethiopia keturunan Majusi.
Ayahku memberikan nama Ju’al [kumbang kelapa] kepadaku, dan belum pernah mengajarkan
satu huruf pun dari Al-Kitab!”
Kemudian Umar menoleh kepada laki-laki
itu dan berkata, “Engkau telah datang kepadaku untuk mengadukan bahwa anakmu
telah berbuat durhaka kepadamu, padahal engkau telah mendurhakainya sebelum ia
mendurhakaimu, dan engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat
buruk kepadamu!”
Kisah Umar bin Khathab di atas menjadi
cermin bagi kita – para orangtua – adakah kita telah siap untuk menjadi ayah
dan ibu yang baik bagi anak-anak. Adakalanya kita lebih siap menjadi suami-istri
tetapi kurang siap untuk menjadi orangtua bagi anak-anak. Kita berharap mereka
menjadi bagian dari generasi-generasi yang salih-salihah, tetapi kita kurang
siap untuk memiliki kesalihan terlebih dahulu.
Kita cukup berpuas diri dengan
menggantungkan harapan pada sekolah-sekolah Islam dan memberikan beban berat
bagi para guru di sekolah. Sementara kehidupan anak di rumah dan di lingkungan
tidak kita anggap sebagai proses pembelajaran bagi anak. Padahal, sebagian
besar waktu anak dihabiskan di luar sekolah.
Sebagian kita kurang menyadari bahwa
anak-anak belajar dari orangtua mereka. Mereka merekam pikiran-pikiran kita.
Mereka menyalin obrolan dan pembicaraan kita. Mereka mencatat dalam memori
kebiasaan dan perilaku kita. Mereka menyimpan kuat-kuat tanggapan kita terhadap
mereka. Bahkan, mereka mampu menangkap getar keyakinan dan keimanan yang
dimiliki orangtua. Intinya, anak-anak senantiasa belajar dari orangtua.
“Seseorang akan tumbuh menurut apa yang dididikkan kepadanya. Sifat-sifat orang
tua akan menurun kepada anak-anak mereka,” demikian Muhammad Nur Abdul Hafizh
Suwaid menjelaskan dalam Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl.
Akan susah kita menanamkan keyakinan yang
kuat dalam diri anak, ketika orangtua memiliki keyakinan yang lemah. Agak sulit
kita mengajarkan anak-anak berkata santun, ketika setiap hari rumah kita
dipenuhi kata-kata kasar dan merendahkan. Sangat mustahil kita mendidik
anak-anak agar mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara
kita – para orangtua – menjauhi sunnah-sunnahnya. Sekali lagi, karena anak-anak
senantiasa belajar pada kita.
Anak-anak yang kuat senantiasa lahir dari
sentuhan pendidikan para orangtua yang kuat pula. Inilah yang dapat kita pahami
dari firman Allah ta’ala. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.s.
An-Nisa’: 9). Ada perintah untuk bertakwa dan mengucapkan perkataan yang benar
agar tidak tumbuh anak-anak yang dzurriyatan dhi’afan ‘anak-anak yang lemah.’
Anak-anak tidak hanya dibesarkan, tetapi suatu saat nanti harus kita
pertanggungjawabkan di hadapan Allah ta’ala.
Dahulu kala, para orangtua berusaha
memperbaiki ketakwaannya agar mampu menumbuhkan anak-anak yang kuat jiwa dan
keyakinannya. Ketakwaan itu pulalah yang mendorong mereka untuk berdoa dengan
penuh keyakinan pada Allah ta’ala. “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang
yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat
yang tunduk patuh kepada Engkau.” (Q.s. al-Baqarah [2]: 128). Perhatikan
redaksional doa Nabi Ibrahim as di atas.
Sungguh, ada rasa takut dalam diri ini
manakala Allah ta’ala memanggil kita sementara selama ini belum pernah
anak-anak kita ajari untuk berdoa. Tidak sekedar itu, lebih takut lagi kita
karena belum menyiapkan anak-anak yang doanya didengar dan dikabulkan Allah.
Selalu ada rasa khawatir, jika mereka tidak kita bekali dengan takwa, mereka
hanya sanggup mengundang tetangga atau jamaah musholla untuk mendoakan kita.
Sementara mereka berkelakar di belakang sambil menyiapkan hidangan untuk para
tamu. Padahal, kelak di akherat kita bertanggung jawab seratus persen terhadap
keadaan anak-anak kita.
Pada Ibrahim ‘alaihissalam kita belajar
untuk menjadi orangtua yang bertakwa agar lahir dan tumbuh anak-anak yang
bertakwa pula. Anak-anak yang kelak mampu mendoakan ketika kita telah tiada.
Sumber : https://matahati01.wordpress.com
0 Response to "Pada Orangtua Anak Belajar"
Posting Komentar