10 Keutamaan Mencari Ilmu dalam Ayat Al Quran dan Hadits



MENCARI ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik.


Giat mencari ilmu selagi muda
Giat mencari ilmu selagi muda


Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam hadits: ”jika manusia meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariahnya, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya,” (HR Bukhori dan Muslim)

2. Menjadi saksi terhadap kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT: (Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia. Yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu,). (QS. Ali Imran 18)

3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu sebagaimana dalam firman Allah, (…dan katakanlah: Ya Rabb ku, tambahkanlah kepadaku ilmu) (QS.Thahaa 114)

4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah, (… Allah mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa derajat dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Mujadilah 11)

5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT, sebagaimana dalam firmannya: (…. sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambanya hanyalah orang-orangyang berilmu). (QS. Fathir 25).

6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya: (Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)). ( QS. Al-Baqarah 269)

7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang ”Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama,” (HR Bukhari dan Muslim).

8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surga, ”Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surge,” (HR Muslim)

9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu,”Tidak hasad kecuali dalam dua hal, yaitu terhadap orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya dalam kebenaran dan orang yang Allah beri hikmah lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya,” (HR Bukhari)

10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu,”Sesungguhnya para malaikat benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang dicarinya,” (HR. Ahmad dan Ibnu majah).


Sumber: www.islampos.com

Related Posts:

Mari Bergabung



Kami mengajak Anda, siapapun, untuk menyumbangkan daya guna dan potensi yang ada untuk membantu para pembelajar yang bisa mengenyam nyamannya ruang bimbingan belajar ber-AC, dengan kursi empuk dan fasilitas memadai. Banyak para pembelajar yang mengandalkan kemauan demi masa depan. Semoga lewat blog ini mereka bisa mendapatkan manfaat.

Mari bergabung


Kami mengundang Anda untuk mengirimkan tulisan, berupa artikel, gagasan pengalaman, kisah inspiratif atau dokumen terkait dunia pendidikan. Bisa juga berupa karya, puisi dan cerpen yang memiliki nilai pendidikan. Tulisan yang masuk akan kami seleksi dan publikasikan lewat blog ini. Penulis tidak mendapatkan bayaran, namun saya percaya kemanfaatan adalah bayaran tak ternilai.

Atas perhatiannya kami sampaikan rasa terima kasih tulus.


Kirim via email : pcpmminggir@gmail.com

Related Posts:

Download Buku Sekolah Elektronik (BSE) Secara Gratis



Buku Sekolah Elektronik, disebut juga BSE, adalah inisiatif dari Departemen Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk menyediakan buku ajar elektronik untuk tingkat pendidikan dari SD, SMP, SMA dan SMK.


Buku sekolah elektronik
Buku Sekolah Elektronik (BSE)


Disini anda akan menemukan ribuan buku yang bisa anda download secara gratis, mulai dari buku mata pelajaran SD sampai dengan SMA.


Untuk mendapatkan aplikasi buku sekolah elektronik (BSE) secara gratis silakan kunjungi dan mengunduh langsung dari web. www.mahoni.bse.com

Related Posts:

Adab-Adab Penuntut Ilmu



Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, amma ba’du. Para pembaca yang budiman, menuntut ilmu agama adalah sebuah tugas yang sangat mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itu sudah semestinya kita berupaya sebaik-baiknya dalam menimba ilmu yang mulia ini. Nah, untuk bisa meraih apa yang kita idam-idamkan ini tentunya ada adab-adab yang harus diperhatikan agar ilmu yang kita peroleh membuahkan barakah, menebarkan rahmah dan bukannya malah menebarkan fitnah atau justru menyulut api hizbiyah. Wallaahul musta’aan.

Adab-adab bagi pelajar
Adab-adab bagi pelajar


ADAB PERTAMA
Mengikhlaskan Niat untuk Allah ‘azza wa jalla
Yaitu dengan menujukan aktivitas menuntut ilmu yang dilakukannya untuk mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat, sebab Allah telah mendorong dan memotivasi untuk itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19). Pujian terhadap para ulama di dalam al-Qur’an juga sudah sangat ma’ruf. Apabila Allah memuji atau memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu bernilai ibadah.

Oleh sebab itu maka kita harus mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah, yaitu dengan meniatkan dalam menuntut ilmu dalam rangka mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. Apabila dalam menuntut ilmu seseorang mengharapkan untuk memperoleh persaksian/gelar demi mencari kedudukan dunia atau jabatan maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah ‘azza wa jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” yakni tidak bisa mencium aromanya, ini adalah ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang menuntut ilmu memiliki niat memperoleh persaksian/ijazah/gelar sebagai sarana agar bisa memberikan manfaat kepada orang-orang dengan mengajarkan ilmu, pengajian dan sebagainya, maka niatnya bagus dan tidak bermasalah, karena ini adalah niat yang benar.

ADAB KEDUA
Bertujuan untuk Mengangkat Kebodohan Diri Sendiri dan Orang Lain
Dia berniat dalam menuntut ilmu demi mengangkat kebodohan dari dirinya sendiri dan dari orang lain. Sebab pada asalnya manusia itu bodoh, dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah lah yang telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan kemudian Allah ciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati supaya kalian bersyukur.” (QS. An Nahl: 78). Demikian pula niatkanlah untuk mengangkat kebodohan dari umat, hal itu bisa dilakukan dengan pengajaran melalui berbagai macam sarana, supaya orang-orang bisa memetik manfaat dari ilmu yang kau miliki.

ADAB KETIGA
Bermaksud Membela Syariat
Yaitu dalam menuntut ilmu itu engkau berniat untuk membela syariat, sebab kitab-kitab yang ada tidak mungkin bisa membela syariat (dengan sendirinya). Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali si pembawa syariat. Seandainya ada seorang ahlul bid’ah datang ke perpustakaan yang penuh berisi kitab-kitab syariat yang jumlahnya sulit untuk dihitung lantas dia berbicara melontarkan kebid’ahannya dan menyatakannya dengan lantang, saya kira tidak ada sebuah kitab pun yang bisa membantahnya. Akan tetapi apabila dia berbicara dengan kebid’ahannya di sisi orang yang berilmu demi menyatakannya maka si penuntut ilmu itu akan bisa membantahnya dan menolak perkataannya dengan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu saya katakan: Salah satu hal yang harus senantiasa dipelihara di dalam hati oleh penuntut ilmu adalah niat untuk membela syariat. Manusia kini sangat membutuhkan keberadaan para ulama, supaya mereka bisa membantah tipu daya para ahli bid’ah serta seluruh musuh Allah ‘azza wa jalla.

ADAB KEEMPAT
Berlapang Dada Dalam Masalah Khilaf
Hendaknya dia berlapang dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka perkaranya jelas. Yang demikian itu tidak ada seorang pun yang menyelisihinya diberikan uzur. Dan bisa juga perselisihan terjadi dalam permasalahan yang boleh berijtihad di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran diberikan uzur. Dan perkataan anda tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan anda dalam masalah itu, seandainya kita berpendapat demikian niscaya kita pun akan katakan bahwa perkataannya adalah argumen yang bisa menjatuhkan anda.

Yang saya maksud di sini adalah perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun orang yang menyelisihi jalan salaf seperti dalam permasalahan akidah maka dalam hal ini tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menyelisihi salafush shalih, akan tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran, tidaklah pantas menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela orang lain atau menjadikannya sebagai penyebab permusuhan dan kebencian.

Maka menjadi kewajiban para penuntut ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam sebagian permasalahan furu’iyyah (cabang), hendaknya yang satu mengajak saudaranya untuk berdiskusi dengan baik dengan didasari kehendak untuk mencari wajah Allah dan demi memperoleh ilmu, dengan cara inilah akan tercapai hubungan baik dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap, bahkan terkadang terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Keadaan seperti ini tentu saja membuat gembira musuh-musuh Islam, sedangkan perselisihan yang ada di antara umat ini merupakan penyebab bahaya yang sangat besar, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfaal: 46)

ADAB KELIMA
Beramal Dengan Ilmu
Yaitu hendaknya penuntut ilmu mengamalkan ilmu yang dimilikinya, baik itu akidah, ibadah, akhlaq, adab, maupun muamalah. Sebab amal inilah buah ilmu dan hasil yang dipetik dari ilmu, seorang yang mengemban ilmu adalah ibarat orang yang membawa senjatanya, bisa jadi senjatanya itu dipakai untuk membela dirinya atau justru untuk membinasakannya. Oleh karenanya terdapat sebuah hadits yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “al-Qur’an adalah hujjah untukmu atau untuk menjatuhkanmu.”

ADAB KEENAM
Berdakwah di Jalan Allah
Yaitu dengan menjadi seorang yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla, dia berdakwah pada setiap kesempatan, di masjid, di pertemuan-pertemuan, di pasar-pasar, serta dalam segala kesempatan. Perhatikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul tidaklah hanya duduk-duduk saja di rumahnya, akan tetapi beliau mendakwahi manusia dan bergerak ke sana kemari. Saya tidak menghendaki adanya seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi penyalin tulisan yang ada di buku-buku, namun yang saya inginkan adalah mereka menjadi orang-orang yang berilmu dan sekaligus mengamalkannya.

ADAB KETUJUH
Bersikap Bijaksana (Hikmah)
Yaitu dengan menghiasi dirinya dengan kebijaksanaan, di mana Allah berfirman yang artinya, “Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang diberi hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang sangat banyak.” (QS. al-Baqarah: 269). Yang dimaksud hikmah ialah seorang penuntut ilmu menjadi pembimbing orang lain dengan akhlaknya dan dengan dakwahnya mengajak orang mengikuti ajaran agama Allah ‘azza wa jalla, hendaknya dia berbicara dengan setiap orang sesuai dengan keadaannya. Apabila kita tempuh cara ini niscaya akan tercapai kebaikan yang banyak, sebagaimana yang difirmankan Tuhan kita ‘azza wa jalla yang artinya, “Dan barang siapa yang diberikan hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang amat banyak.” Seorang yang bijak (Hakiim) adalah yang dapat menempatkan segala sesuatu sesuai kedudukannya masing-masing. Maka sudah selayaknya, bahkan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersikap hikmah di dalam dakwahnya.

Allah ta’ala menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah di dalam firman-Nya yang artinya, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl: 125). Dan Allah ta’ala telah menyebutkan tingkatan dakwah yang keempat dalam mendebat Ahli kitab dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendebat ahlu kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang-orang zhalim diantara mereka.” (QS. al-‘Ankabuut: 46). Maka hendaknya penuntut ilmu memilih cara dakwah yang lebih mudah diterima oleh pemahaman orang.

ADAB KEDELAPAN
Penuntut Ilmu Harus Bersabar Dalam Menuntut Ilmu
Yaitu hendaknya dia sabar dalam belajar, tidak terputus di tengah jalan dan merasa bosan, tetapi hendaknya di terus konsisten belajar sesuai kemampuannya dan bersabar dalam meraih ilmu, tidak cepat jemu karena apabila seseorang telah merasa jemu maka dia akan putus asa dan meninggalkan belajar. Akan tetapi apabila dia sanggup menahan diri untuk tetap belajar ilmu niscaya dia akan meraih pahala orang-orang yang sabar; ini dari satu sisi, dan dari sisi lain dia juga akan mendapatkan hasil yang baik.

ADAB KESEMBILAN
Menghormati Ulama dan Memosisikan Mereka Sesuai Kedudukannya
Sudah menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memosisikan mereka sesuai kedudukannya, dan melapangkan dada-dada mereka dalam menghadapi perselisihan yang ada di antara para ulama dan selain mereka, dan hendaknya hal itu dihadapinya dengan penuh toleransi di dalam keyakinan mereka bagi orang yang telah berusaha menempuh jalan (kebenaran) tapi keliru, ini catatan yang penting sekali, sebab ada sebagian orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak pantas kepada mereka, dan demi menebarkan keraguan di hati orang-orang dengan cela yang telah mereka dengar, ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing orang awam saja termasuk dosa besar maka menggunjing orang berilmu lebih besar dan lebih berat dosanya, karena dengan menggunjing orang yang berilmu akan menimbulkan bahaya yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu sendiri, akan tetapi mengenai dirinya dan juga ilmu syar’i yang dibawanya.

Sedangkan apabila orang-orang telah menjauh dari orang alim itu atau harga diri mereka telah jatuh di mata mereka maka ucapannya pun ikut gugur. Apabila dia menyampaikan kebenaran dan menunjukkan kepadanya maka akibat gunjingan orang ini terhadap orang alim itu akan menjadi penghalang orang-orang untuk bisa menerima ilmu syar’i yang disampaikannya, dan hal ini bahayanya sangat besar dan mengerikan. Saya katakan, hendaknya para pemuda memahami perselisihan-perselisihan yang ada di antara para ulama itu dengan anggapan mereka berniat baik dan disebabkan ijtihad mereka dan memberikan toleransi bagi mereka atas kekeliruan yang mereka lakukan, dan hal itu tidaklah menghalanginya untuk berdiskusi dengan mereka dalam masalah yang mereka yakini bahwa para ulama itu telah keliru, supaya mereka menjelaskan apakah kekeliruan itu bersumber dari mereka ataukah dari orang yang menganggap mereka salah ?! Karena terkadang tergambar dalam pikiran seseorang bahwa perkataan orang alim itu telah keliru, kemudian setelah diskusi ternyata tampak jelas baginya bahwa dia benar. Dan demikianlah sifat manusia, “Semua anak Adam pasti pernah salah dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang senantiasa bertaubat”. Adapun merasa senang dengan ketergelinciran seorang ulama dan justru menyebar-nyebarkannya di tengah-tengah manusia sehingga menimbulkan perpecah belahan maka hal ini bukanlah termasuk jalan Salaf.

ADAB KESEPULUH
Berpegang Teguh Dengan Al Kitab dan As Sunnah
Wajib bagi penuntut ilmu untuk memiliki semangat penuh guna meraih ilmu dan mempelajarinya dari pokok-pokoknya, yaitu perkara-perkara yang tidak akan tercapai kebahagiaan kecuali dengannya, perkara-perkara itu adalah:

1. Al-Qur’an Al-Karim
Oleh sebab itu wajib bagi penuntut ilmu untuk bersemangat dalam membacanya, menghafalkannya, memahaminya serta mengamalkannya karena al-Qur’an itulah tali Allah yang kuat, dan ia adalah landasan seluruh ilmu. Para salaf dahulu sangat bersemangat dalam mempelajarinya, dan diceritakan bahwasanya terjadi berbagai kejadian yang menakjubkan pada mereka yang menunjukkan begitu besar semangat mereka dalam menelaah al-Qur’an. Dan sebuah kenyataan yang patut disayangkan adalah adanya sebagian penuntut ilmu yang tidak mau menghafalkan al-Qur’an, bahkan sebagian di antara mereka tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik, ini merupakan kekeliruan yang besar dalam hal metode menuntut ilmu. Karena itulah saya senantiasa mengulang-ulangi bahwa seharusnya penuntut ilmu bersemangat dalam menghafalkan al-Qur’an, mengamalkannya serta mendakwahkannya, dan untuk bisa memahaminya dengan pemahaman yang selaras dengan pemahaman salafush shalih.

2. As Sunnah yang shahihah
Ia merupakan sumber kedua dari sumber syariat Islam, dialah penjelas al-Qur’an al Karim, maka menjadi kewajiban penuntut ilmu untuk menggabungkan antara keduanya dan bersemangat dalam mendalami keduanya. Penuntut ilmu sudah semestinya menghafalkan as-Sunnah, baik dengan cara menghafal nash-nash hadits atau dengan mempelajari sanad-sanad dan matan-matannya, membedakan yang shahih dengan yang lemah, menjaga as-Sunnah juga dengan membelanya serta membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan Ahlu bid’ah guna menentang as-Sunnah.

ADAB KESEBELAS
Meneliti Kebenaran Berita yang Tersebar dan Bersikap Sabar
Salah satu adab terpenting yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah tatsabbut (meneliti kebenaran berita), dia harus meneliti kebenaran berita-berita yang disampaikan kepadanya serta mengecek efek hukum yang muncul karena berita tersebut. Di sana ada perbedaan antara tsabaat dan tatsabbut, keduanya adalah dua hal yang berlainan walaupun memiliki lafazh yang mirip tapi maknanya berbeda. Ats tsabaat artinya bersabar, tabah dan tidak merasa bosan dan putus asa. Sehingga tidak semestinya dia mengambil sebagian pembahasan dari sebuah kitab atau suatu bagian dari cabang ilmu lantas ditinggalkannya begitu saja. Sebab tindakan semacam ini akan membahayakan bagi penuntut ilmu serta membuang-buang waktunya tanpa faedah. Dan cara seperti ini tidak akan membuahkan ilmu. Seandainya dia mendapatkan ilmu, maka yang diperolehnya adalah kumpulan permasalahan saja dan bukan pokok dan landasan pemahaman. Contoh orang yang hanya sibuk mengumpulkan permasalahan itu seperti perilaku orang yang sibuk mencari berita dari berbagai surat kabar dari satu koran ke koran yang lain. Karena pada hakikatnya perkara terpenting yang harus dilakukan adalah ta’shil (pemantapan pondasi, ilmu ushul) dan pengokohannya serta kesabaran untuk mempelajarinya.

Dengan perantara nama-nama-Mu yang terindah dan sifat-sifat-Mu yang tertinggi ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba. Begitu banyak nikmat telah hamba sia-siakan. Umur, kesempatan, waktu luang, kesehatan dan keamanan. Semuanya telah Engkau curahkan, namun aku selalu lalai dan tidak pandai mensyukuri pemberian-Mu. Ya Allah bimbinglah hamba-Mu ini, untuk meraih kebahagiaan pada hari di mana tidak ada lagi hari sesudahnya, ketika kematian telah disembelih di antara surga dan neraka. Ketika para penduduk surga semakin bergembira dan para penghuni neraka bertambah sedih dan merana. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat, dan lindungilah kami dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ya Allah, kami mohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, terjaganya kehormatan dan kecukupan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.

***
Adab-adab ini disadur dari Thiibul Kalim al-Muntaqa Min Kitaab al-‘Ilm Li Ibni Utsaimin karya Abu Juwairiyah oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi


Related Posts:

Pada Orangtua Anak Belajar



Oleh : Dwi Budiyanto


SEORANG LELAKI telah datang kepada Umar bin Khathab r.a. Raut wajahnya memendam amarah. Ia berjalan dengan tergesa. Ia datang untuk satu tujuan: mengadukan kedurhakaan anaknya. Anak lelaki itu didakwa karena kedurhakaannya terhadap bapaknya dan kelalalaiannya terhadap hak-hak orangtuanya.




Umar kemudian mendatangkan anak itu untuk didengar kesaksiannya. Pengadilan pun digelar. Surat tuduhan dibacakan. Kesaksian pun didengar.

Anak itu melempar sebuah pertanyaan pembuka, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak juga mempunyai hak yang harus diberikan bapaknya?”

“Tentu,” kata Umar.

Anak itu bertanya lagi, “Apakah itu wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab, “Memilihkan ibu, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadanya.”

“Wahai Amirul Mukminin,” anak itu bermaksud memberikan pembelaan, “Sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satu pun di antara itu semua. Ibuku seorang bangsa Ethiopia keturunan Majusi. Ayahku memberikan nama Ju’al [kumbang kelapa] kepadaku, dan belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari Al-Kitab!”

Kemudian Umar menoleh kepada laki-laki itu dan berkata, “Engkau telah datang kepadaku untuk mengadukan bahwa anakmu telah berbuat durhaka kepadamu, padahal engkau telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu, dan engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu!”

Kisah Umar bin Khathab di atas menjadi cermin bagi kita – para orangtua – adakah kita telah siap untuk menjadi ayah dan ibu yang baik bagi anak-anak. Adakalanya kita lebih siap menjadi suami-istri tetapi kurang siap untuk menjadi orangtua bagi anak-anak. Kita berharap mereka menjadi bagian dari generasi-generasi yang salih-salihah, tetapi kita kurang siap untuk memiliki kesalihan terlebih dahulu.

Kita cukup berpuas diri dengan menggantungkan harapan pada sekolah-sekolah Islam dan memberikan beban berat bagi para guru di sekolah. Sementara kehidupan anak di rumah dan di lingkungan tidak kita anggap sebagai proses pembelajaran bagi anak. Padahal, sebagian besar waktu anak dihabiskan di luar sekolah.

Sebagian kita kurang menyadari bahwa anak-anak belajar dari orangtua mereka. Mereka merekam pikiran-pikiran kita. Mereka menyalin obrolan dan pembicaraan kita. Mereka mencatat dalam memori kebiasaan dan perilaku kita. Mereka menyimpan kuat-kuat tanggapan kita terhadap mereka. Bahkan, mereka mampu menangkap getar keyakinan dan keimanan yang dimiliki orangtua. Intinya, anak-anak senantiasa belajar dari orangtua. “Seseorang akan tumbuh menurut apa yang dididikkan kepadanya. Sifat-sifat orang tua akan menurun kepada anak-anak mereka,” demikian Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid menjelaskan dalam Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl.

Akan susah kita menanamkan keyakinan yang kuat dalam diri anak, ketika orangtua memiliki keyakinan yang lemah. Agak sulit kita mengajarkan anak-anak berkata santun, ketika setiap hari rumah kita dipenuhi kata-kata kasar dan merendahkan. Sangat mustahil kita mendidik anak-anak agar mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara kita – para orangtua – menjauhi sunnah-sunnahnya. Sekali lagi, karena anak-anak senantiasa belajar pada kita.

Anak-anak yang kuat senantiasa lahir dari sentuhan pendidikan para orangtua yang kuat pula. Inilah yang dapat kita pahami dari firman Allah ta’ala. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.s. An-Nisa’: 9). Ada perintah untuk bertakwa dan mengucapkan perkataan yang benar agar tidak tumbuh anak-anak yang dzurriyatan dhi’afan ‘anak-anak yang lemah.’ Anak-anak tidak hanya dibesarkan, tetapi suatu saat nanti harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah ta’ala.

Dahulu kala, para orangtua berusaha memperbaiki ketakwaannya agar mampu menumbuhkan anak-anak yang kuat jiwa dan keyakinannya. Ketakwaan itu pulalah yang mendorong mereka untuk berdoa dengan penuh keyakinan pada Allah ta’ala. “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (Q.s. al-Baqarah [2]: 128). Perhatikan redaksional doa Nabi Ibrahim as di atas.

Sungguh, ada rasa takut dalam diri ini manakala Allah ta’ala memanggil kita sementara selama ini belum pernah anak-anak kita ajari untuk berdoa. Tidak sekedar itu, lebih takut lagi kita karena belum menyiapkan anak-anak yang doanya didengar dan dikabulkan Allah. Selalu ada rasa khawatir, jika mereka tidak kita bekali dengan takwa, mereka hanya sanggup mengundang tetangga atau jamaah musholla untuk mendoakan kita. Sementara mereka berkelakar di belakang sambil menyiapkan hidangan untuk para tamu. Padahal, kelak di akherat kita bertanggung jawab seratus persen terhadap keadaan anak-anak kita.

Pada Ibrahim ‘alaihissalam kita belajar untuk menjadi orangtua yang bertakwa agar lahir dan tumbuh anak-anak yang bertakwa pula. Anak-anak yang kelak mampu mendoakan ketika kita telah tiada.


Related Posts: